Di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Pak Mujair di muara Sungai Serang pantai selatan Blitar, Jawa Timur pada tahun 1939. Demikian disebutkan di buku "Perkenalkan: Ikan (Pak) Mujair, dalam Dari Kutu sampai ke Gajah" karya Soeseno.
Iwan Dalauk yang akrab dipanggil Mbah Moedjair lahir di Desa Kuningan, 3 km arah timur pusat Kota Blitar. Dari pasangan Bayan Isman dan Ibu Rubiyah, lahir tahun 1890.
Suatu saat, Mbah Moedjair menemukan sejenis ikan yang jumlahnya sangat banyak dan mempunyai keunikan yaitu menyimpan anak di dalam mulutnya ketika ada bahaya dan dikeluarkan ketika keadaan sudah aman.
Melihat keunikan ikan ini, Mbah Moedjair berniat mengembangbiakkan di rumahnya di daerah Papungan-Kanigoro-Blitar. Untuk mengambil ikan ini, Mbah Moedjair menjaring dengan menggunakan kain Udeng (ikat kepala) yang biasa beliau pakai. Tetapi karena habitat yang berbeda, maka ikan ini mati sewaktu dimasukkan ke air tawar yang berada di halaman rumah Mbah Moedjair di Papungan.
Melihat kejadian seperti ini, Mbah Moedjair bukannya putus asa tetapi malah semakin gigih dalam melakukan percobaan dengan satu tujuan spesies ikan ini dapat hidup di habitat air tawar. Habitat yang sangat berbeda dari aslinya yaitu air laut (asin).
Mbah Moedjair bolak-balik Papungan-Serang yang berjarak 35 km, berjalan kaki dengan melewati hutan belantara, naik turun bukit dan akses jalan yang sulit serta memakan waktu dua hari dua malam. Di Pantai Serang ia mengambil spesies ikan ini dengan menggunakan gentong yang terbuat dari tanah liat.
Ia juga melakukan percobaan dengan mencampurkan air laut yang asin dengan air tawar, terus menerus dengan tingkat konsentrasi air tawar semakin lama semakin lebih banyak dari air laut yang kemudian kedua jenis air yang berbeda ini dapat menyatu.
Percobaan ini menemui keberhasilan pada percobaan ke-11, yang berarti 11 kali perjalanan bolak balik Papungan-Serang. Pada percobaan ke-11 ini berhasil hidup 4 ekor ikan jenis baru ini dengan habitat air tawar.
Keberhasilan Mbah Moedjair membawa ikan jenis baru ke kolam halaman rumahnya membuat nama Mbah Moedjair menjadi lekas terkenal. Dari satu kolam kemudian berkembang menjadi tiga. Ikan hasil budidayanya dibagi-bagikan ke tetangga dan sisanya di jual ke pasar dan dijajakan dengan sepeda kumbang.
Berita mengenai Mbah Moedjair juga rupanya menarik perhatian asisten resident (penguasa wilayah Jawa Timur pada masa penjajahan Belanda) yang berkedudukan di Kediri.
Asisten resident yang juga seorang peneliti tersebut kemudian melakukan penelitian mendalam tentang ikan spesies baru sekaligus mewawancarai Mbah Moedjair. Berdasar hasil penelitian dan literatur yang ada, diketahui bahwa spesies ikan Mbah Moedjair berasal dari perairan laut Afrika.
Kemudian sebagai bentuk penghargaan atas usahanya selama ini, asisten resident memberikan nama ikan spesies baru ini sesuai dengan nama penemunya, yaitu Moedjair (mujair).
Perkembangan selanjutnya, mbah Moedjair banyak menerima anugerah penghargaan dari berbagai pihak karena ikan hasil temuannya disukai banyak orang bahkan sudah mulai mendunia. Beberapa penghargaan yang diterima Mbah Moedjair di antaranya adalah dari Eksekutip Committee Indo Pasifik Fisheries Council pada tahun 1954.
Sementara penghargaan dari pemerintah Indonesia diterima pada 17 Agustus 1951 dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Mbah Moedjair meninggal pada tanggal 7 September 1957 karena penyakit asma dan kemudian dimakamkan di Blitar.
Batu nisan makamnya bertuliskan "Moedjair, Penemu Ikan Moedjair" lengkap dengan ukiran ikan mujair.