Namun, beruntung peluru eksekutor ISIS meleset dan tidak mengenai kepalanya. Kepada harian New York Times pekan lalu, pria berusia 23 tahun itu, kemudian bertutur dia terpaksa berpura-pura mati agar bisa selamat.
Ali dan teman-temannya ditawari oleh kelompok ISIS tumpangan untuk menuju ke ibu kota Baghdad. Namun, yang terjadi dia dan ratusan orang pasukan Irak lainnya dibawa menuju ke bagian luar Istana Tikrit.
Sebuah tanah lapang yang tidak terlalu dalam telah digali dan di sana lah terjadi eksekusi massal. "Mereka menipu kami dan mencoba membuat kami nyaman," ujar Ali.
Lalu, bagaimana cara Ali bisa tetap hidup hingga hari ini?
"Saya hanya berpura-pura ikut tertembak dan mati," kata Ali.
Dia mengingat, saat itu dia berada di baris keempat. Setelah seorang anggota ISIS menembak mati pria pertama, darah pun mengenai wajah Ali. Adegan sadis itu, rupanya direkam oleh seorang anggota ISIS lainnya.
Saat proses eksekusi berlangsung, yang ada di benaknya hanya wajah putri tercinta. "Saya membayangkan wajah putri saya yang kerap memanggil: 'ayah, ayah'," kata dia.
Usai eksekusi selesai dilakukan, muncul tekad dalam pikiran Ali bahwa dia harus hidup. Anggota ISIS lainnya sempat menemukan pasukan Irak lain yang masih bernapas walau telah ditembak. Namun, menurut kesaksian Ali, anggota pasukan itu tetap dibiarkan hidup sekarat.
"Biarkan saja dia menderita. Dia berasal dari kaum Syiah yang kafir. Biarkan dia berdarah," tutur Ali menirukan kalimat anggota ISIS.
Dibantu kaum Sunni
Setelah empat jam berlalu dan malam tiba, Ali bangun dari "kematiannya" dan kabur. Dia berhasil lari hingga ke pinggir tepi Sungai Tigris. Di sana dia bertemu seorang sopir dari Kamp Speicher, Abbas, namun ikut tertembak oleh pasukan ISIS.
Mereka pun terpaksa bertahan di sana selama tiga hari. Untuk bertahan hidup, Ali terpaksa makan apa pun mulai dari tumbuhan hingga serangga. Sayang, kondisi Abbas tidak memungkinkan untuk mengonsumsi apa pun.
"Tiga hari itu benar-benar bagaikan di neraka," kata Ali mengenang.
Setelah tiga hari berlalu, Ali memutuskan untuk meneruskan perjalanan pulang. Abbas sempat memohon, agar Ali kembali menyelamatkannya. Atau, jika tidak memungkinkan, Abbas meminta Ali menceritakan kisah tersebut.
Pukul 23.00 waktu setempat, dia kabur dengan berenang ke sisi seberang sungai. Begitu tiba, dia menemukan sebuah pondok kosong untuk beristirahat. Paginya, dia mendekati sebuah rumah keluarga Sunni dan diberi sarapan berupa telur dan yoghurt.
Khawatir, akan ketahuan oleh pasukan ISIS, karena menyembunyikan kaum Syiah, salah seorang anggota keluarga itu, kemudian membawanya ke sebuah rumah teman di desa lain. Lalu, dari sana, Ali diajak ke kota Al Alam, rumah seorang Syekh kaum Sunni, Khamis al-Jubouri.
Khamis mengaku telah membangun jalan bawah tanah mirip jalur kereta api bagi pasukan Syiah Irak yang ingin kabur dari ISIS.
"Kami juga membantu 40 tentara Irak dari Anbar, Diyala, Mosul dan Baghdad agar bisa pulang dengan selamat dengan identitas palsu," ungkap Jubouri.
Selama dua minggu, dia berada di sana, lalu berangkat ke kota Erbil, daerah yang berada di bawah kekuasaan tentara Kurdi. Dia berhasil melewati beberapa titik pemeriksaan ISIS dengan selamat berkat identitas palsu itu.
Di Erbil, Ali bertemu dengan pamannya yang sengaja terbang dari Najar. Dia akhirnya dapat berkumpul kembali dengan istri dan kedua anaknya.
"Hari itu luar biasa bahagianya. Bisa kembali bertemu keluarga. Mereka menangis, sedangkan saya tertawa," papar Ali.
Di awal wawancara, Ali menunjukkan bekas luka kepada jurnalis NYT, akibat diikat tali oleh pasukan ISIS. Sebagian dari cerita itu, juga sudah dikonfirmasi ulang oleh Syekh Sunni yang melindungi dia dan ayah Abbas yang menemui Ali.
Hal itu untuk membuktikan kesaksiannya bukan omong kosong belaka. Seorang agen intelijen Irak telah mendatangi rumahnya di Diwaniya, selatan Irak untuk meminta keterangan serta memberi uang senilai US$430 atau Rp5,1 juta untuk bertahan hidup.