"Penelitian dilatari bahwa Indonesia jadi juara perokok," ujar pimpinan pusat kajian tersebut, Profesor Hasbullah Thabrany kepada merdeka.com, Selasa (23/8).
Pengumpulan data dilakukan sejak Desember 2015 sampai Januari 2016. Survei dilakukan dengan mewawancarai 1.000 responden, dan hasilnya dirilis Juli lalu. Hasilnya, 82 persen responden setuju harga rokok naik, bahkan 72 persen menyatakan setuju harga rokok di atas Rp 50 ribu.
"Kalau Rp 50 ribu sebagian besar bilang, 'wah kalau begitu kami tidak beli'," ungkap Hasbullah.
Berikut petikan wawancara jurnalis merdeka.com, Marselinus Gual dengan Hasbullah Thabrany:
Bagaimana awal mulu muncul kajian harga rokok naik Rp 50 ribu?
Saya tidak mengusulkan harga rokok naik Rp 50 ribu. Jadi saya mulai publikasi hasil penelitian akhir Juli lalu. Penelitian dilatari bahwa Indonesia jadi juara perokok. Salah satu cara mengurangi paling efektif adalah dengan harga rokok tinggi dan cukai tinggi.
Kita mendapatkan BPJS dan adanya defisit ini dituding karena sektor informal tidak bayar secara rutin dan sakit kronis karena rokok. Kalau peserta BPJS tapi beli rokok setip hari sampai Rp 300-400 ribu sebulan.
Ide saya naikkan harga dan cukai, maka uang yang beli rokok tadi kirim saja ke BPJS supaya tidak dihujat karena tidak bayar iuran. Karena itu, saya survei secara acak via telepon.
Saya tanya anda perokok bukan? Apakah anda setuju untuk tambah BPJS? 80 Persen mengatakan setuju. Saya tanya lagi, gimana kalau harga rokok naik Rp 25 ribu? 80 Persen bilang masih beli. Kalau Rp 50 ribu sebagian besar bilang, 'wah kalau begitu kami tidak beli'.
Saya akhirnya evaluasi. Dia (warga) tetap beli tapi kurangi jumlahnya. Kalau cukai naik kan jamin dia untuk BPJS. Maka saya rekomendasi ke pemerintah untuk naik harga rokok dan cukai. Kalau cukai naik, uang itu dipakai pemerintah untuk untuk penduduk di sektor informal.
Tapi memang banyak juga harapan harga naik. Ada keinginan dari masyarakat juga selain penelitian kami.
Kajian ini dari kapan? Respondennya siapa saja?
Kami mulai mengkaji dari bulan Juli hingga Agustus secara acak di seluruh Indonesia. Respondennya 41 persen perokok, warga dapat jaminan kesehatan 59 persen dan hampir sama dengan yang dilaporkan BPJS. Secara acak tadi mewakili masyarakat secara nasional.
Dengan kebiasaan warga merokok begitu lama, apakah anda tidak khawatir masyarakat tetap beli meski harga sudah naik?
Memang fakta di beberapa negara tetap beli. Kalau tidak dinaikkan peluang pemerintah mensejahterakan tidak ada. Meski masyarakat tetap beli tapi belinya jadi berkurang. Selain jumlah pembeli berkurang, risiko penyakit makin kecil dan terutama anak sekolah kita tidak membeli rokok lagi.
Apakah dengan harga Rp 50 ribu dijamin banyak perokok berhenti? Atau diprediksi berapa persen yang berhenti?
Kalau prediksi sih enggak, tapi mengurangi jumlah iya. Kalau Rp 50 ribu mungkin yang beli bisa 30 persen turun. Itu simulasi di negara lain.
Menurut anda, apa faktor yang menyebabkan murahnya harga rokok di Indonesia?
Karena pemerintah enggak kontrol harga dan cukai yang terlalu rendah. Kalau negara lain kan tinggi.
Pajak paling tinggi dinilai dari perusahaan rokok. Apa tanggapan mereka kalau harga rokok dinaikkan?
Penerimaan tinggi itu cukai, bukan dari perusahaan. Pajak ya sama saja.
Tapi anda yakin bakal dinaikkan?
Tergantung pemerintah. Kalau cukai tiap tahun naik dan penerimaan paling tinggi dari rakyat bukan dari cukai. Ada penerimaan dari pajak dan konsumsi. Tapi ada pandangan keliru seolah dari perusahaan. Kalau pemerintah naik cukai penerimaan negara juga lebih banyak.
Apakah hasil kajian ini apa sudah disampaikan ke pihak terkait?
Belum. Saya sudah minta ketemu dengan pemerintah.
Apa ada tanggapan pemerintah sejauh ini?
Belum, tapi ini sesuai Nawacitanya Pak Jokowi yang kelima yaitu naikkan cukai sebanyak 200 persen.
Apakah menurut anda harga rokok menyebabkan kemiskinan di Indonesia?
Kebanyakan warga miskin konsumsi rokok itu tinggi. Mungkin dengan harga tinggi ini dia bisa kurangi.
Menurut anda apakah dengan harga rokok naik petani tembakau juga bisa diuntungkan?
Selama ini kita impor dari luar. Petani kita hanya kontribusi 40 persen, lebih banyak impor. Kan impor itu petani luar yang untung, bukan kita. Akan lebih untung petani karena bisa harga tembakau jadi lebih tinggi. Tapi perlu pengawalan dari pemerintah. Jangan sampai harga rokok tinggi, perusahaan untung tapi harga tembakau malah turun.